Home / Internasional / News

Kamis, 27 Oktober 2022 - 17:40 WIB

UNICEF: 559 Juta Anak Terpapar Gelombang Panas

Hibo, 10 tahun, membawa air dengan jerigen ke rumah sementaranya di kamp pengungsi Kaharey, Somalia (Foto: UNICEF/UN0644298/Fazel)

Hibo, 10 tahun, membawa air dengan jerigen ke rumah sementaranya di kamp pengungsi Kaharey, Somalia (Foto: UNICEF/UN0644298/Fazel)

iBenews.id – Sebanyak 559 juta anak saat ini mengalami paparan gelombang panas dengan frekuensi kejadian yang tinggi. Hal ini diungkap dalam laporan penelitian terbaru dari UNICEF. Lebih jauh lagi, terdapat 624 juta anak yang terpapar satu dari tiga aspek lain yang terkait dengan fenomena gelombang panas, yakni durasi yang panjang, tingkat keparahannya yang tinggi, dan suhu tinggi yang ekstrem.

Pada tahun yang mencatatkan rekor peristiwa gelombang panas, baik di belahan bumi selatan maupun utara, laporan berjudul The Coldest Year Of The Rest Of Their Lives: Protecting Children From The Escalating Impacts Of Heatwaves menyoroti dampak peristiwa ini yang telah dirasakan secara luas oleh anak-anak. Laporan juga menyatakan, pada masa ketika pemanasan global berada di level yang lebih rendah sekalipun, dalam tiga dasawarsa ke depan anak-anak di seluruh dunia tidak akan bisa menghindari gelombang panas dan frekuensinya yang tinggi.

Laporan tersebut memperkirakan bahwa pada 2050 seluruh anak di dunia, atau sebanyak 2,02 miliar jiwa, akan mengalami gelombang panas dalam frekuensi yang tinggi. Hal ini terlepas dari keberhasilan dunia dalam mewujudkan ‘skenario emisi gas rumah kaca pada tingkat rendah’, yaitu dengan perkiraan kenaikan suhu sebesar 1,7 derajat pada 2050 ataupun ‘skenario emisi gas rumah kaca pada tingkat amat tinggi’, dengan perkiraan kenaikan suhu sebesar 2,4 derajat pada 2050.

Disusun melalui kolaborasi dengan The Data Collaborative for Children dan dirilis melalui kemitraan dengan Duta Persahabatan UNICEF (UNICEF Goodwill Ambassador) Vanessa Nakate serta Rise Up Movement, suatu gerakan yang berbasis di Afrika, laporan ini menggarisbawahi mendesaknya kebutuhan untuk mengadaptasikan layanan sosial yang selama ini diandalkan oleh anak-anak, seiring dengan perluasan dampak pemanasan global yang tidak bisa dihindari. Laporan ini juga menunjukkan bahwa upaya mitigasi iklim tidak boleh berhenti demi mencegah dampak yang lebih buruh dari dua aspek lain peningkatan suhu, termasuk gelombang panas yang durasinya lebih panjang dan temperaturnya lebih tinggi dan peristiwa suhu ekstrem yang lebih tinggi.

“Kenaikan suhu sedang terjadi, dan begitu pula dengan dampaknya terhadap anak-anak,” ujar Direktur Eksekutif UNICEF Catherine Russel. “Saat ini pun, 1 dari 3 anak tinggal di negara-negara dengan suhu tinggi yang ekstrem dan hampir 1 dari 4 anak terpapar gelombang panas yang frekuensi kejadiannya tinggi. Ke depan, hal-hal ini hanya akan memburuk. Jumlah anak yang terdampak gelombang panas yang lebih panjang durasinya, lebih panas, dan lebih sering akan bertambah dalam tiga puluh tahu ke depan, dan kesehatan serta kesejahteraan mereka akan terancam. Seberapa parah efek perubahan ini di masa mendatang ditentukan oleh tindakan yang kita ambil pada hari ini. Pemerintah-pemerintah harus, minimal, segera mengambil langkah untuk membatasi kenaikan suhu pada tingkat 1,5 derajat Celsius dan meningkatkan besar pendanaan program-program adaptasi iklim hingga dua kali lipat pada 2025. Inilah satu-satunya cara untuk menyelamatkan kehidupan dan masa depan anak-anak—serta masa depan Bumi.”

Gelombang panas menimbulkan efek negatif khususnya pada anak-anak karena kemampuan meregulasi suhu tubuh belum sematang orang dewasa. Makin sering anak terpapar gelombang panas, makin besar pula risiko anak mengalami masalah kesehatan, termasuk gangguan pernapasan kronis, asma, dan penyakit kardiovaskuler. Bayi dan balita adalah kelompok yang paling berisiko mengalami kematian akibat suhu panas. Gelombang panas juga dapat berdampak terhadap lingkungan sekitar anak-anak, keselamatan mereka, gizi, akses kepada air, pendidikan, dan mata pencaharian kelak.

Laporan di atas menemukan bahwa gelombang panas dalam durasi yang tinggi saat ini dialami oleh 538 juta, atau 23 persen anak di seluruh dunia. Angka ini akan naik menjadi 1,6 miliar anak pada 2050 dengan tingkat kenaikan suhu 1,7 derajat dan 1,9 miliar anak dengan tingkat kenaikan suhu 2,4 derajat. Hal ini menekankan pentingnya langkah mitigasi dan adaptasi yang mendesak serta drastis untuk mengatasi pemanasan global dan melindungi nyawa.

Selain itu, akan terdapat lebih banyak lagi anak yang terpapar gelombang panas yang amat parah dan suhu tinggi ekstrem, bergantung pada tingkat pemanasan global kelak. Anak-anak di wilayah utara Bumi, khususnya Eropa, akan mengalami kenaikan yang paling dramatis dari gelombang panas yang amat parah. Sementara itu, pada 2050, hampir separuh anak di Afrika dan Asia akan menghadapi paparan suhu tinggi ekstrem yang terus-menerus.

Pada saat ini, terdapat 23 negara yang menempati posisi teratas dalam hal paparan anak terhadap suhu tinggi yang ekstrem. Pada 2050, jumlah ini akan bertambah menjadi 33 negara dalam skenario emisi rendah dan menjadi 36 negara dalam skenario emisi tinggi. Burkina Faso, Chad, Mali, Niger, Sudan, Irak, Arab Saudi, India, dan Pakistan adalah beberapa negara yang kemungkinan besar akan tetap berada di peringkat teratas untuk kedua skenario tersebut.

“Shock iklim pada tahun 2022 ibarat alarm kencang tentang bahaya yang makin besar dan kian dekat,” kata Vanessa Nakate, aktivis iklim dan Duta Persahabatan UNICEF. “Gelombang panas adalah contoh nyata. Suhu tahun ini amat panas bagi hampir semua negara, namun boleh jadi suhu ini akan menjadi suhu terdingin yang terakhir kita alami. Bumi sedang memanas, tetapi nyatanya para pemimpin dunia bahkan belum ‘berkeringat’. Kita tidak punya pilihan selain terus menciptakan tekanan agar para pemimpin mau mengubah arah. Hal ini harus disepakati pada COP 27 demi anak-anak di seluruh dunia, khususnya anak-anak paling rentan yang tinggal di wilayah-wilayah paling terdampak. Tanpa aksi, dan aksi yang segera, laporan sudah jelas menyatakan gelombang panas akan menjadi lebih parah daripada saat ini.

UNICEF menyerukan semua pemerintah untuk:

Melindungi anak-anak dari bencana iklim dengan mengadaptasi layanan sosial. Setiap negara harus mengadaptasi layanan sosial yang esensial—air, sanitasi, dan kebersihan (WASH), kesehatan, pendidikan, gizi, perlindungan sosial, dan perlindungan anak—demi melindungi anak dan remaja. Sistem pangan, misalnya, harus diperkuat agar mampu menghadapi bahaya iklim sekaligus mempertahankan akses anak kepada makanan sehat. Investasi harus diperbesar untuk pencegahan dini, deteksi, dan pengobatan kondisi malnutrisi parah pada anak, ibu, dan populasi rentan. Pada COP27, anak dan hak-hak mereka harus menjadi pertimbangan terpenting dalam setiap keputuan terkait adaptasi.

Menyiapkan anak untuk hidup di tengah dunia dengan iklim yang berbeda. Setiap negara harus mengedukasi anak dan remaja tentang perubahan iklim, penurunan risiko bencana, dan keterampilan serta peluang hijau agar mereka dapat berpartisipasi secara bermakna dan memengaruhi pengambilan keputusan. COP27 harus memastikan agar fokus negara-negara pada edukasi dan pemberdayaan iklim untuk anak-anak lebih kuat dan tercermin pada rencana ACE (Aksi Pemberdayaan Iklim) setiap negara; rencana juga harus disahkan dan komitmen terdahulu untuk membangun kapasitas anak muda harus dilaksanakan.

Memprioritaskan anak dan remaja dalam pembiayaan dan sumber daya iklim. Negara-negara maju harus mewujudkan komitmen yang dinyatakannya dalam COP26, yaitu melipatgandakan pendanaan untuk kegiatan adaptasi iklim menjadi sebesar minimal $40 miliar per tahun pada 2025, sebagai bagian dari upaya mewujudkan pendanaan setidaknya $300 miliar per tahun untuk adaptasi. Pendanaan untuk adaptasi iklim harus menyumbang separuh dari seluruh pembiayaan iklim. COP27 harus melacak kemajuan yang sudah dicapai untuk mengatasi kerugian dan kerusakan akibat peristiwa iklim; dalam setiap diskusi tentang aksi dan dukungan untuk iklim, resiliensi anak-anak dan komunitas mereka harus diutamakan.

Mencegah bencana iklim dengan menurunkan emisi gas rumah kaca secara drastis dan menjaga kenaikan suhu pada 1,5 derajat Celsius. Emisi gas rumah kaca diperkirakan naik 14% pada dekade ini. Artinya, masyarakat dunia tengah menuju kondisi pemanasan global yang sangat merusak. Semua pemerintah harus melihat kembali rencana dan kebijakan iklim nasionalnya, kemudian memperbesar target dan aksi yang ingin dicapai. Emisi perlu diturunkan sebesar minimal 45% pada 2030 agar kenaikan suhu bumi tidak melebihi 1,5 derajat Celsius. (iB-4)

Share :

Baca Juga

HEADLINE

Bawaslu Manggarai Barat Minta ASN, TNI-Polri Netral pada Pilkada 2024

HEADLINE

Kabulkan Praperadilan, Hakim Bebaskan Pegi Setiawan

HEADLINE

Komnas HAM Sebut Satgas TPPO di NTT Jarang Rapat, Kepala BP2MI Juga Bingung

HEADLINE

Kemenlu Ajak 23 Dubes Asing ke Labuan Bajo Genjot Investasi Sektor Parekraf

HEADLINE

Kejari Manggarai Barat Dalami Potensi Tersangka Baru Korupsi Sarpras Pramuka Mbuhung

HEADLINE

Bea Cukai dan Karantina Bantu UMKM Labuan Bajo Lakukan Ekspor ke Malaysia

HEADLINE

Kapal Wisata Budi Utama Tenggelam di Labuan Bajo 2 Turis Spanyol Terluka

HEADLINE

Kemenparekraf Perkuat Tata Kelola Komunikasi Krisis Pariwisata di DPSP Labuan Bajo